SEMARANG
SISTERS
“Mi, Ami….” Suara Kak Neti mengetuk
pintu kamarku. Ah, perasaan baru aja
terlelap, shubuh sudah kembali menyapa, malas sekali rasanya untuk bangun.
Kak Neti adalah orang pertama yang bangun subuh dan
yang selalu membangunkan teman-teman yang masih terlelap. Kubiarkan kak neti
memanggil-manggil namaku untuk beberapa saat kemudian suara sendalnya berlalu
menuju kamar mandi. Dengan menggeliat aku bangun ternyata kak neti sudah di
depanku. “Wudhu sana, yang lain sudah menunggu” perintahnya.
Aku tak menjawab hanya mengangguk dan langsung
mengambil wudu. Begitu bergabung dengan teman-teman lain aku langsung ditodong
untuk menjadi imam. Selesai sholat subuh berjama’ah kami mengadakan tilawah
qur’an bersama. Begitulah rutinitas ba’da solat subuh kami--anak kos yang berusaha untuk kompak
Menjadi anak
kos adalah suatu pilihan hidup yang sulit bagiku, jujur saja ini pengalamanku
berpisah dengan orang tua dalam jangka waktu yang lama dan di tempat yang
begitu jauh belum pernah kusambangi. Meski tertatih-tatih aku belajar untuk
mandiri, membuang jauh sifat ketergantunganku yang biasanya dilayani sekarang
semuanya harus sendiri. Ya, harus sendiri.
Sebelum ke Semarang teman-temanku yang di Lampung
sering menceritakanku mengenai penderitaan menjadi anak kos, misalnya Rani pernah
punya pengalaman telat dikirim uang sampai harus puasa dua hari karena tak ada
sesuatu pun untuk dimakan. “menahan lapar itu sudah hal biasa kawan, apalagi hidup
di rantau orang” ceritanya.
Lain lagi Lia yang merasa selalu terzholimi oleh
teman sekamarnya yang temperamen. “kamu tau, kalau sedikit saja
barang-barangnya ada yang berubah posisi dia selalu marah-marah. Belum lagi aku
selalu disuruh-suruh padahal aku mau belajar” ujarnya geram. Uuhh…jadi takut
memikirkan bagaimana nasibku kelak.
Lalu Dinda yang selalu berpindah-pindah kos karena
tidak pernah menemukan orang-orang yang seide dengan pikirannya. “aku takut
terjerumus karena selama aku ngekos
belum pernah menemukan teman-teman yang benar-benar beriman, semuanya munafik”
jawabnya. “kamu hati-hati aja jauh
dari orang tua, jangan sampai bergaul dengan teman yang salah. Gludak! Sampai segitunya kah pikirku
dulu.
Namun Aku sangat bersyukur karena cerita tragis dari
teman-temanku ternyata tidak terjadi denganku, Allah menempatkan aku bersama
delapan orang-orang pilihan-Nya di kos itu. Dengan berbagai latar belakang
budaya dan agama yang berbeda kami selalu berusaha menjaga kekompakan.
Pelajaran paling dasar adalah sedikit demi sedikit aku mengupayakan belajar
bagaimana menahan emosi dan ego.
----------------
Siang itu, seperti biasa, Semarang yang menurutku
panasnya minta ampun menunjukkan kegarangannya. Kipas angin yang kunyalakan
serasa meniupkan angin panas dan memaksaku untuk tiduran di atas lantai sambil
mendengarkan lagu dari Ebiet G. Ade yang mengalun sendu.
Tiba-tiba terdengar teriakan seperti orang demo dari
arah ruang tamu. Aku tersentak kaget karena setahuku tadi tidak ada yang sedang
berada di ruang tamu. Aku segera bangun dari lantai dan mematikan musik dari
HP-ku dan menuju ke sumber teriakan.
“Beta1 hari ini seng2 pinjam motor Mbak, tadi aku keluar dengan Mas Ari”
Indah dengan lantang dan logat Ambonnya.
“Tapi kan semalem
kamu yang terakhir pake” bentak
Aisyah yang tampak dari raut wajah yang panik.
“Kan sudah beta kembalikan ose3
punya motor, beta kasih itu kontak di atas meja” terang Indah ga mau kalah.
1)
|
Aku yang dari tadi tertegun linglung mulai paham apa
yang mereka ributkan tanpa meminta salah satu dari mereka untuk menjelaskan
pokok permasalahannya. Jujur aku shock
tak menyangka apa yang baru saja terjadi di depan mataku menyeretku pada
cerita-cerita dari Rani, Lia dan Dinda. Apakah ini babak baru segera dimulai
dimana aku memerankan kisah anak kos yang hidup diantara permusuhan? Oh, no
way… aku tidak mau membiarkan itu terjadi.
Aku masih berusaha untuk tenang dan meminta mereka
untuk tenang, dan bicara pelan-pelan. “kita malu sama tetangga kanan-kiri, kos
yang isinya anak gadis kok ribut kayak kos cowok” ucapku pada mereka berdua.
“Mba ami ga akan merasakan apa yang kurasakan,
bagaimana kalau motor itu dicuri orang? Aku bakal berhenti kuliah mba”. Air
mata Aisyah menetes.
Aku menelan ludah. Tak bisa kubayangkan kalau hal
itu terjadi. Motor itu adalah sumber penghasilan bagi Aisyah karena orangtuanya
hanya mampu membayar uang kuliahnya sedangkan untuk biaya hidup di Semarang ia
harus banting tulang menjadi SPG dari sebuah produk ternama dengan
menjajakannya secara door to door.
“coba di sms apa ada anak-anak yang pake?” lanjutku dengan hati-hati takut
menyinggung perasaannya. “sudah Mbak, makanya aku sampai panik gini anak-anak ga ada yang keluar pake motorku”
jelasnya dengan pasrah.
“Hah?! Terus kemana motornya?” cemasku. “Nah itu dia
yang bikin aku hampir gila Mbak”
sambung Aisyah. Semua diam. Sesaat suasana membisu. Tiba-tiba dering HP-ku
melantunkan lagu “Allahu Akbar” dari Band Ungu pertanda sms masuk. “Dari Sari, dia lagi di rumah makan Padang, siapa yang
mau titip beli makan?” kubacakan isi sms pada Aisyah dan Indah. Tak ada yang
menjawab. Tanpa pikir panjang aku balas sms Sari ‘nasi ayam tiga bungkus’. “Kita makan dulu, nanti selesai makan kita
ke kantor polisi, gimana?” ajakku pada mereka. Keduanya menjawab dengan
anggukan.
-----
Sore harinya, ketika aku, Sari,
Aisyah dan Indah pulang dari kantor polisi semua penghuni kos sudah lengkap stay di kos menunggu kabar dari kami.
“Kita tunggu saja hasilnya” jawabku singkat pada anak-anak.
Malam ini di kos benar-benar sepi
senyap seperti tak berpenghuni, semuanya mengurung di kamar masing-masing.
Tidak ada Aisyah yang biasanya hadir di depan TV menyaksikan kisah sinetron
favoritnya. Tidak ada Indah yang biasanya masuk dari kamar ke kamar membuat
lelucon, Sari yang selalu membagi-bagikan jajanannya,
bahkan Intan yang selalu sibuk BBM-an sepertinya volume dering BB-nya
sengaja di silent.
Ya Allah… jenuh banget dikamar. Malam ini benar-benar malam yang paling berbeda
selama aku tinggal di Semarang. Aku tidak bisa membayangkan bila persahabatan
kami, atau tepatnya persaudaraan kami, yang bersembilan di kos ini hancur.
Sungguh tak bisa kubayangkan. Akan kucari dimana orang-orang baik seperti
mereka. Kalau boleh meminjam kalimat Intan, ‘kita semua adalah pengganti bagi
keluarga kita dikampung, kalau menginginkan suasana kekeluargaan tetap hadir
maka jadilah keluarga bagi semuanya’. Kejadian ngotot-ngototan tadi siang
adalah kejadian diluar kendali. Yang ku takutkan jika salah satu pindah karena
merasa sudah tidak betah di kos akan memicu yang lain untuk ikut dan membubarkan jalinan ini.
Malam ini aku tidak bisa tidur
sepicing pun, aku yakin beberapa yang lain pun merasakan hal yang sama karena
sampai selarut malam ini hanya Sari yang mengganti lampu kamarnya dengan lampu
tidur. Sedangkan kamar lain masih terang menyala terlihat dari pentilasi sama
halnya dengan lampu kamarku.
-----
Tiba-tiba aku mendengar dering Hp-ku
berbunyi ternyata sms dari teman kampus menanyakan tugas. Belum sempat ku balas
sms itu, aku tersentak kaget melihat jam menunjukkan pukul 07.12,
astaghfirullah….aku belum sholat shubuh. Aku bergegas mengambil wudu sambil
mengutuki diriku mengapa tidak memasang alarm. Aku juga geram sama Kak Neti
kenapa aku tidak dibangunkan. Ketika sampai di depan pintu kamar madi ternyata
Kak Neti dengan muka lesu keluar di balik pintu, “kakak belum subuhan mi,
kesiangan”. Aku kaget, “hah?!, kukira kakak ga
bangunin aku”. “buruan sholat, sendiri-sendiri aja ya” perintah Kak Neti sambil berlalu. Aku Cuma geleng kepala, ‘kok bisa?!’
Menjelang siang, perutku yang belum
terisi telah mengirimkan signal. Aku mengajak teman-teman yang belum sarapan
untuk beli makan diluar. Aisyah yang matanya sembab awalnya sempat menolak
namun karena aku memaksa akhirnya dia Cuma nitip.
Saat pulang dari membeli sarapan, di
depan gang menuju kos motor kami ada yang mendahuluinya, dan aku kaget karena
motor itu persis motornya Aisyah dan berhenti pas di depan kos. Kami
bertanya-tanya siapa laki-laki di balik helm itu. Ketika laki-laki itu membuka
helm dan mengetuk pintu kos, Indah langsung mengintrogasinya. Rasanya raut
mukanya tidak asing bagiku.
“Mas cari siapa? Ini motornya Aisyah
kan? Kenapa bisa mas yang pake?”
tanya Indah beruntun.
Laki-laki itu tersenyum bingung, “Kenalkan
saya Rio, pacarnya Iis, teman Aisyah” jawabnya pelan. Pantesan wajahnya ga
asing, Rio ini kan sering kulihat menjemput Iis yang sering mampir di kos
setelah pulang kuliah. “ia ini motornya Aisyah kemarin malam dipinjam Iis untuk
pulang karena saya tidak bisa menjemput” sambungnya.
“alhamdulillah” ucap kami hampir
bersamaan. “kenapa Iis ga bilang kalo dia yang pinjem?” tanya Indah kesal.
“lho? Memangnya Iis ga ijin Aisyah
dulu?” dia balik tanya. “coba panggilkan Aisyah supaya clear, ga simpang siur gini”
pintanya. Setelah bertemu Aisyah dan Aisyah langsung menelpon Iis untuk
mengkonfirmasi, ternyata Iis meminta ijin sewaktu Aisyah di kamar mandi. Aisyah
tidak begitu mendengar jelas apa yang dikatakan Iis dia hanya asal jawab ‘ya’
aja. Iis Cuma sms ‘sori syah, aku buru-buru ternyata Bapak-ku nyuruh pulang
sekarang ada kepentingan keluarga’. Karena buru-buru Iis tidak menegaskan lagi
kalo motornya dia pinjam untuk pulang.
Huh…lega rasanya. Kuharap kejadian
seperti ini tidak akan terjadi lagi. “ayo my sisters kita rayakan semua ini
dengan membaca surat Yasin” ajak Indah dengan senyum mengembang dari wajahnya.
Aisyah langsung menyambar “moh, aku ga
mau jadi sister kamu” tukasnya serius. “aisyah??!” sentakku. Aisyah melanjutkan
“dia kan punya sister di Ambon” kali
ini sambil tersenyum. “hhmm…baiklah, sister yang di Ambon namanya Winda, dan
yang di kos ini namanya ‘Semarang Sisters’, nama yang pas kan untuk persaudaraan kita ini?” kata Indah bersemangat lalu
melanjutkan kaimatnya, “1, 2, 3, every body say!, Semarang Sisters”. Kami pun
serentak mengikuti intruksinya “SEMARANG SISTERS”. Haaaaa….. tawa pun riuh
terdengar. Senangnya semua kembali seperti semula, senyumku kini mengembang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar